Friday, March 23, 2007

SutroH...

Awas, Setan Lewat di Depanmu !

Acapkali kita lihat seseorang dengan santai berlalu-lalang di depan orang yang sedang sholat tanpa merasa risih, padahal perbuatan sembrono ini bisa mengurangi pahala sholat orang lain atau bahkan sampai membatalkannya. Imam Adz Dzahabi telah memasukkah perbuatan tersebut sebagai perbuatan dosa besar sebagaimana dalam kitab Al Kabaair, begitupula para ulama lain juga menyatakan demikian. Kesalahan ini diperparah dengan sholatnya seorang tanpa menghadap tabir pembatas (baca : sutroh) di depannya, sehingga orang lain merasa leluasa berlalu lalang sementara ia sendiri juga tidak berusaha menghalangi.

Perintah Nabi agar Sholat Menghadap Sutroh dan Mendekat Kepadanya

Ketahuilah, disyariatkannya sholat menghadap pembatas/sutroh telah ditegaskan oleh perintah Rosululloh dalam banyak hadits dan perbuatan beliau. Bahkan banyak dari kalangan ulama yang menyatakan wajibnya mengambil sutroh. Rosululloh bersabda, Janganlah kalian sholat kecuali menghadap sutroh, dan jangan biarkan seorangpun lewat di depanmu, jika dia enggan maka tolaklah dengan lebih keras, karena syaithon bersamanya” (HR Muslim, Ibnu Khuzaimah) dalam riwayat lain, “…karena sesungguhnya dia itu adalah syaithon (HR. Bukhori, Muslim). Perintah tersebut berlaku baik seseorang takut akan ada yang lewat di depannya atau tidak, di manapun ia berada. Dan hukum ini ditujukan untuk orang yang sholat sendirian dan bagi imam. Adapun makmum tidak disyari’atkan mengambil sutroh dan sutrohnya adalah sutroh imam.

Sutroh dapat berupa dinding, tiang, tongkat, punggung orang atau sejenisnya yang dapat menjadi pembatas sholatnya. Adapun tingginya telah Rosululloh jelaskan, Setinggi pelana (sekitar 2/3 hasta) (HR. Muslim). Namun apabila lebih tinggi dari itu, maka lebih baik. Sebab dengan demikian akan lebih menutup pandangannya sehingga mudah menghadirkan hati serta mencegah dari batalnya sholat atau kekurangsempurnaan.

Haromnya Lewat di Depan Orang Sholat

Perhatikanlah, jika engkau telah sholat menghadap sutroh, maka mendekatlah sehingga tempat sujudmu tepat sebelum sutroh dan jangan biarkan siapapun lewat di depanmu. Adapun yang berada di luar sutroh maka tidak ada hak bagimu untuk menghalanginya. Dan hendaklah orang yang lewat di depan orang yang sholat takut akan dosa yang diperbuatnya. Camkan baik-baik sabda Rosululloh, Seandainya seseorang tahu dosanya lewat di depan orang sholat, maka lebih baik baginya berhenti selama 40 (tahun)”. (HR Bukhori, Muslim) Bahkan jika seseorang tidak bersutroh tetap saja harom lewat di depannya sampai batas tempat sujudnya, karena haknya tidak lebih dari tempat yang ia butuhkan untuk sholatnya. Dan bila engkau telah berusaha menghalangi, sementara ia bersikeras dan berhasil lewat, maka ia mendapat dosa dan sholatmu tidak berkurang kesempurnaannya.

Bolehnya lewat di depan shof makmum

Dalam sholat berjama’ah, yang menjadi sutroh makmum adalah sutroh imam, sehingga yang terlarang ialah lewat di depan imam. Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas ketika beliau menginjak usia baligh. Beliau pernah lewat di sela-sela shof jamaa’ah yang diimami oleh Rosululloh dengan menunggangi keledai betina, lalu turun melepaskan keledai baru kemudian bergabung dalam shof. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan tersebut (Riwayat Bukhori Muslim). Namun demikian, bila seseorang mendapatkan jalan lain agar tidak lewat di depan shof makmum maka ini lebih baik, sebab perbuatan tersebut jelas akan mengusik konsentrasi.

Batalnya sholat seseorang bila dilewati tiga makhluk

Ketahuiah, lewat di depan orang sholat dapat mengurangi pahala sholat atau bahkan dapat membatalkannya. Rosululloh bersabda, Membatalkan sholat (lewatnya) anjing hitam, dan wanita baligh(HR. Ahmad, An Nasa’i) Dan dalam riwayat Muslim disebutkan juga keledai. Ibnu Mas’ud berkata bahwa orang yang lewat di depan orang sholat (selain tiga jenis tadi) bisa mengurangi pahala orang yang dilewatinya (Riwayat Ath Thobroni, Ibnu Abi Syaibah).

Saudaraku, jangan sampai tiga makhluk tadi lewat di depanmu saat sholat sehingga sholatmu batal, dan halangilah setiap orang yang hendak lewat untuk memberikan peringatan bagi orang yang melampaui batas tersebut agar lebih berhati-hati ! Wallohu a’lam.

(Disarikan oleh Johan Abu Yusuf dari kitab Asy Syarhul Mumti’ karya Syaikh Utsaimin, Al Wajiz karya Syaikh Abdul Azhim bin Badawi dan Al Qoulul Mubin Fii Akhtho’il Mushollin karya Syaikh Masyhur Hasan Salman).

Ghibah / Ngrasani / Menggunjing

Ghibah (Ngrasani / menggunjing)

Ghibah (menggunjing/ngerasani) adalah dosa besar yang tersebar dan banyak dilakukan oleh manusia. Padahal Alloh telah memisalkan orang yang melakukannya sebagai orang yang memakan bangkai daging saudaranya, dalam firman-Nya "Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya" (Al Hujurat : 12). Ghibah adalah membicarakan orang lain tanpa sepengetahuan orang tersebut dengan sesuatu yang tidak disenanginya bila ia mengetahuinya, baik itu kekurangan yang ada pada badan, nasab, tabiat, ucapan maupun agama hingga pada pakaian, rumah atau harta miliknya yang lain. Contohnya seperti mengatakan ia pendek, hitam, kurus dan lain sebagainya. Atau dalam agamanya seperti mengatakan ia pembohong, fasik, munafik dan lain-lain.

Kadang orang tidak sadar ia telah melakukan ghibah, dan saat diperingatkan ia menjawab, "Yang kukatakan ini benar adanya!", padahal perbuatan tersebut jelas ghibah. Ketika Rosululloh ditanya bagaimana bila yang disebut-sebut itu memang benar adanya pada orang yang sedang digunjingkan, beliau menjawab, "Jika yang engkau gunjingkan benar adanya pada orang tersebut, maka engkau telah melakukan ghibah, dan jika yang engkau sebut tidak ada pada orang yang engkau sebut, maka engkau telah melakukan dusta atasnya." (HR. Muslim)

Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran bibir dan sebagainya yang intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada 'Aisyah Rodhiyallohu 'Anha. Ketika wanita itu sudah pergi, 'Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rosululloh lantas bersabda, "Engkau telah melakukan ghibah!". Contoh lainnya seperti gerakan memperagakan gerak orang lain seperti cara jalan, cara berbicara dan lain-lain. Bahkan demikian ini lebih parah daripada ghibah, karena mengandung unsur memberitahu kekurangan orang dan mengandung tujuan mengejek atau meremehkan. Tak kalah meluasnya adalah ghibah dengan tulisan, karena tulisan adalah lisan kedua. Media massa sudah tidak segan dan malu-malu lagi membuka aib seseorang yang paling rahasia sekalipun. Yang terjadi kemudian, sensor perasaan malu masyarakat menurun sampai pada tingkat yang paling rendah. Aib tidak lagi dirasakan sebagai aib yang seharusnya ditutupi, perbuatan dosa menjadi makanan sehari-hari.

Macam dan Bentuk Ghibah

Ghibah mempunyai berbagai macam dan bentuk, yang paling buruk adalah ghibah yang disertai dengan riya' seperti mengatakan, "Saya berlindung kepada Alloh dari perbuatan yang tidak tahu malu semacam ini, semoga Alloh menjagaku dari perbuatan itu." padahal maksudnya mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain, namun ia menggunakan ungkapan doa untuk mengutarakan maksudnya. Kadang orang melakukan ghibah dengan cara pujian, seperti mengatakan, "Betapa baik orang itu, tidak pernah meninggalkan kewajibannya, namun sayang ia mempunyai perangai seperti yang banyak kita miliki, kurang sabar." Ia menyebut juga dirinya dengan maksud mencela orang lain dan mengisyaratkan dirinya termasuk golongan orang-orang sholeh yang selalu menjaga diri dari ghibah. Bentuk ghibah yang lain misalnya mengucapkan: "Saya kasihan terhadap teman kita yang selalu diremehkan ini. Saya berdoa kepada Alloh agar dia tidak lagi diremehkan." Ucapan semacam ini bukanlah doa, karena jika ia menginginkan doa untuknya, tentu ia akan mendoakannya dalam kesendiriannya dan tidak mengutarakannya semacam itu. Bentuk ghibah lainnya yaitu perkataan-perkataan yang memiliki unsur perendahan seperti perkataan "Ayahnya seorang petani" atau mengenai akhlak semisal perkataan "Dia sombong" atau mengenai fisik seperti "Badannya gemuk".

Taubat dari Ghibah

Pada dasarnya orang yang melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan; kejahatan terhadap Alloh Ta'ala karena melakukan perbuatan yang jelas dilarang oleh-Nya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yang harus diambil untuk menghindari maksiat ini adalah dengan taubat yang mencakup tiga syaratnya, yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Selanjutnya, harus diikuti dengan langkah kedua untuk menebus kejahatannya atas hak manusia, yaitu dengan mendatangi orang yang digunjingkannya kemudian minta maaf atas perbuatannya dan menunjukkan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yang dibicarakannya mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahuinya, maka bagi yang melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dengan kebaikan dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulanginya. [Buletin At Tauhid, oleh: Abu Uzair Boris]