Tuesday, February 13, 2007

Hadits Dloif yang populer

Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina

"Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina"

Kita sering mendengar ungkapan: "Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina". Kalo ungkapan tersebut sebagai penyemangat tidak apa-apa.. tapi yang jadi masalah adalah ungkapan itu dinisbatkan oleh Rasululloh SAW. Penisbatan (penetapan) ungkapan itu dari Rasululloh adalah sesuatu yang perlu menjadi perhatian. Karena ternyata riwayat tersebut adalah dloif, bahkan bathil, yaitu bukan dari Rasulullah, atau dengan kata lain Rasulullah tidak pernah mengatakan ungkapan tersebut. Jadi kita tidak boleh menisbatkan ungkapan tersebut kepada Rasulullah SAW, apapun alasannya apalagi mengharap dapat pahala karena mengamalkan ungakapan tersebut. Karena pada masa itu, sumber dari segala sumber ilmu adalah di Arab (baca: Mekah dan Medinah), pernyataan ini diungkapkan oleh sahabat/tabi'ien. Berikut adalah penjelasan ttg hadits tersebut oleh seorang ahli hadits yang tsiqoh (terpercaya)...

Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani Rohimahullah menulis:

Riwayat ini batil. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi II/207, Abu Naim dalam Akhbar Ashbahan II/106, al-Khatib dalam at-Tarikh IX/364 dan sebagainya, yang kesemuanya dengan sanad dari al-Hasan bin Athiyah, dari Abu Atikah Tharif bin Salman, dari Anas bin Malik r.a. Kemudian semuanya menambahkan lafazh fa inna thalabal ilmi faridlatun 'ala kulli muslimin. Ibnu Adi berkata, "Tambahan kata walaw bish Shin kami tidak mengenalinya kecuali datang dari al-Hasan bin Athiyah." Begitu pula pernyataan al-Khatib dalam kitab Tarikh seperti dikutip Ibnul Muhib dalam al-Fawa'id.

Kelemahan riwayat ini terletak pada Abu Atikah yang telah disepakati muhadditsin sebagai perawi sanad yang sangat dha'if. Bahkan oleh Imam Bukhari dinyatakan munkar riwayatnya. Begitu pula jawaban Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang Abu Atikah ini.

Ringkasnya, susunan dari hadits di atas adalah sangat dha'if atau bahkan sampai pada derajad batil. Saya kira kebenaran ada pada ucapan Ibnu hibban dan Ibnul Jauzi yang berkata bahwa hadits di atas tidak ada sanadnya yang baik atau bahkan dianggap baik sampai derajad dapat dikuatkan atau saling menguatkan antara satu sanad dengan sanad yang lainnya.

Adapun bagian kedua (tambahannya), mungkin dapat dinaikkan derajadnya kepada hadits hasan, seperti diutarakan oleh al-Mazi sebab sanadnya banyak yang bersumber pada Anas r.a. Dalam hal ini dari hasil penyelidikan yang saya lakukan, saya telah menemukan delapan sanad yang dapat diandalkan yang kesemuanya bersumber kepada sahabat Rasulullah saw., diantaranya adalah Anas, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Ali, Abu Said, dan sebagainya. Hingga kinipun saya masih menelitinya hingga saya benar-benar yakin dalam memvonis shahih, hasan ataupun dha'ifnya sanad-sanad tersebut. Wallahu a'lam.

Sumber:

Judul Asli: Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah

Judul: Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'

Penulis: Muhammad Nashruddin al-Albani

Penterjemah: A.M. Basamalah, Penyunting: Drs. Imam Sahardjo HM.

Cetakan 1, Jakarta

Gema Insani Press, 1994

Jln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740

Cetakan Pertama, Shafar 1416H - Juli 1995M

Komentar/penjelasan saya: dari penjelasan syaikh Al –Albani dapat ditarik kesimpulan:

  1. Tambahan Lafazh “walaw bish Shin” (walau sampai ke negri China) adalah sangat dloif, bahkan imam Bukhori menyatakan mungkar, jadi tidak boleh diamalkan..
  2. Lafazh “fa inna thalabal ilmi faridlatun 'ala kulli muslimin” (maka sesungguhnya menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim (lelaki dan perempuan)) adalah hasan, jadi boleh diamalkan…

Thursday, February 1, 2007

Agar ibadah diterima disisi Alloh

Pernahkah terlintas di benak kita suatu pertanyaan "Apakah ibadah yang telah saya kerjakan diterima di sisi Alloh SWT...???" Lalu apa sih syarat diterimanya suatu amal ibadah? Apakah ikhlash saja sudah cukup??? Ternyata tidak cukup dengan ikhlash, tapi kita juga harus mengikuti tuntunan Rasululloh SAW, sebagaimana dalam sabda beliau: "Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.”(Shohih, HR Muslim). Nah.. untuk mengetahui apakah amalan yang kita lakukan sudah ada dasarnya/sesuai dengan tuntunan Rasululloh SAW apa belum, maka kita harus perbanyak belajar ilmu agama terutama berhubungan dengan amalan2 wajib seperti sholat, puasa dll. Berikut adalah pembahasan selengkapnya....
Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah yang agung. Alloh berfirman,”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”(Adz Dzariyat:56). Mungkin kita sudah hafal tujuan tersebut karena sering kita dengar, tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah ibadah kita itu diterima ataukah tidak? Maka, tidak ada seorangpun yang dapat menjamin hal ini, sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk beramal dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap agar ia mendapat ridho Alloh serta janji-janji yang sudah ditetapkan Alloh dalam Al Qur'an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Dan janganlah ia berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan merasa bahwa ibadahnya pasti diterima.

Ingatlah firman Alloh, "Katakanlah: "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (Al Kahfi:103,104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini?, yang telah beramal dengan susah payah sewaktu masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh Ta'ala.

Apakah Makna Ibadah?

Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk. Sedang secara istilah, ulama banyak memberikan makna. Namun makna yang paling lengkap adalah seperti yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: suatu kata yang meliputi segala perbuatan dan perkataan; zhohir maupun batin yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh Ta’ala. Dengan demikian ibadah terbagi menjadi tiga , yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan.

Syarat diterimanya Amal ibadah

Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima bila memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi Shollallohu ‘alaihi wassalam). Kedua syarat ini terangkum dalam firman Alloh, "…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (Al Kahfi:110). Beramal sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tatacara yang telah diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah maksudnya mengikhlashkan ibadah hanya untuk Alloh semata.

Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, (Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Al-Baqoroh:112). Menyerahkan diri kepada Alloh berarti mengikhlashkan seluruh ibadah hanya kepada Alloh saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti syari’at Rosululloh.

Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama (persaksian tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh semata). Sebab persaksian ini menuntut kita untuk mengikhlashkan semua ibadah kita hanya untuk Alloh saja. Sedang syarat kedua (mutaba’ah) adalah konsekuensi dari syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad sebagai hamba dan utusan-Nya).

Ikhlash dalam ibadah

Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh semata. Walaupun seseorang beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut. Alloh berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Al Bayyinah:5). Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya, kemanakah maksud hati tatkala ia beribadah, apakah untuk Alloh, ataukah untuk selain Alloh.

Perhatikanlah jenis amal-amal berikut:

Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya supaya dilihat makhluk atau karena tujuan duniawi. Amalan seperti ini hangus, tidak bernilai sama sekali dan pelakunya pantas mendapat murka Alloh.

Amalan yang ditujukan kepada Alloh dan disertai riya’ dari sejak awalnya, maka nash-nash yang shohih menunjukkan amalan seperti ini bathil dan terhapus.

Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat lain selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan untuk Alloh dan karena menghendaki harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang pahalanya dan tidak sampai batal dan tidak sampai terhapus amalnya.

Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh kemudian terbesit riya’ di tengah-tengah, maka amalan ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut terbersit sebentar dan segera dihalau maka riya’ tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’ tersebut selalu menyertai amalannya maka pendapat terkuat diantara ulama salaf menyatakan bahwa amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana pendapat Hasan Al Bashri. Namun dia tetap berdosa karena riya’nya tersebut dan tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’) terhapus.

Sedang amal yang ikhlash karena Alloh kemudian mendapat pujian sehingga dia senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak berpengaruh apa–apa terhadap amalnya.

Beribadah hanya dengan syari'at Rosululloh

Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan sesuatu yang diridhoi Alloh, dan engkau tidak akan mengetahui apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah Alloh kabarkan atau dijelaskan Rosululloh. Dan seluruh kebaikan telah diajarkan Rosululloh, tidak tersisa sedikitpun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan sesuatu karena menganggap ini baik, padahal Rosululloh tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya, "Mengapa engkau melakukan ini?" lalu ia menjawab, "Bukankah ini sesuatu yang baik? Mengapa engkau melarang aku dari melakukan yang baik?" Saudaraku, bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. Apakah engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang Rosululloh dan para sahabatnya? Ingatlah sabda Rosululloh, "Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.”(HR Muslim).

Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara Nabi dalam beberapa hal:

Sebab. Ibadah kepada Alloh dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’roj Rosululloh (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud adalah ibadah tetapi karena dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan syari'at maka sholat karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.

Jenis. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari'at dalam jenisnya. Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.

Kadar (bilangan). Kalau ada seseorang yang sengaja menambah bilangan raka’at sholat zhuhur menjadi lima roka’at, maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita tahu kesalahan orang-orang yang berdzikir dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan tertentu, baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka Alloh.

Kaifiyah (cara). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara membasuh tangan dan muka saja, maka wudhunya tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.

Waktu. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari'at menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari tasyriq saja.

Tempat. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.

Wahai saudaraku…..Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat ini, yaitu kita menjadikan ibadah yang kita lakukan semata-mata hanya untuk Alloh dan kita beribadah hanya dengan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad dalam setiap tarikan nafas dan detik-detik kehidupan kita, semoga dengan demikian kita semua menjadi hamba-Nya yang bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya.Wallohu a’lam bish showaab.
[Bambang Abu Abdirrohman Al Atsary Al Bayaty], pendahuluan oleh Yanto Abdurrahman