Friday, January 19, 2007

Puasa Asyura

Dasar puasa Asyura:

Dari Ibnu Abbas ra, ketika Rasulullah SAW tiba di kota Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura (tgl 10 Muharam) maka beliau bertanya: “Hari apakah ini?” mereka menjawab: “ini adalah hari yang baik. Ini adalah hari dimana Allah SWT menyelamatkan bani Israil dari musuhnya, maka Musa AS berpuasa pada hari itu karena bersyukur kepada Allah SWT. Dan kami berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya.” Rasulullah SAW bersabda: “Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian.” Maka Rasulullah SAW berpuasa pada hari itu (berpuasa Asyura) dan memerintakan kaum muslimin untuk berpuasa padanya. [HR Bukhori (no 2004) & Muslim (no 1130)]

Akan tetapi stlh itu Rasulullah SAW memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi dengan berpuasa sehari sebelumnya (yaitu tanggal 9 Muharam) atau sehari sesudahnya (yaitu tanggal 11 Muharam). Atas dasar itu yang paling utama adalah berpuasa pada hari tanggal 10 Muharam ditambah satu hari sebelum/sesudahnya. Syaikh Utsaimin rhm berkata: Tambahan puasa di hari ke 9 lebih utama dari heri ke 11. Pernyataan beliau diperkuat hadits berikut:

Sahabat berkata: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya Asyura itu hari yang diagungkan oleh orang Yahudi & Nasrani.” Maka Rasulullah SAW bersabda: ”Tahun depan InsyaAllah kita akan puasa (juga) pada hari kesembilan.” [HR Muslim No. 1134, dari Ibnu Abbas]

Keutamaan puasa Asyura:

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: ”Puasa yang paling utama setelah puasa pada bulan Romadlon adalah puasa pada bulan Muharam. Dan sholat yang paling utama selah sholat fardlu adalah sholat malam.” [HR Muslim]

Dari Abu Qotadah Al Anshari, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Arofah, sabdanya: “Ia menebus dosa tahun yang lalu dan yang akan datang.” Ketika ditanya tentang puasa Asyura beliau bersabda: “menebus dosa tahun yang lalu...” [HR Muslim].

Dalam riwayat yang lain (tentang keutamaan puasa Asyura) Rasulullah SAW bersabda: “Aku mengharap kepada Allah untuk menghapuskan dosa setahun yang sebelumnya” [HR Muslim 1162]

Tentang puasa di hari jum’at:

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: ”janganlah kamu khususkan sholat malam jumat saja, dan janganlah kamu khususkan puasa pada hari jumat saja, kecuali jika hari jumat itu bertepatan/jatuh pada giliran puasa sunnah yang biasa dilakukan seseorang” [HR Muslim]

Dalam hadits yang lain “kecuali ia berpuasa pada hari sebelum/sesudahnya” [HR Bukhori & Muslim]

Sekalipun bulan Muharam memiliki keutamaan (bulan Muharam adalah 1 dari 4 bulan yang mempunyai keutamaan dibandingkan bulan lainnya, selain Ramadlan, Sya'ban dan Dzulhijjah) akan tetapi kita tidak bisa begitu saja memuliakan bulan ini, apalagi memuliakan dengan ibadah ibadah tertentu yang dikhususkan pada bulan ini tanpa adanya dalil yang jelas dan shohih. Pengkhususan suatu ibadah pada waktu tertentu / dengan cara tertentu, tanpa adanya dalil/tuntunan dari rasulullah bisa dikategorikan sebagai bid'ah, sekalipun diniatkan ikhlash untuk Allah SWT dan hanya mengharap ridlonya. Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda: Man ‘amila ‘amalan laysa 'alaihi amruna fa huwa roddun, yang artinya kurang lebih: "Barang siapa yang melakukan suatu amalan tanpa ada perintahnya dari kami, niscaya amalan itu tertolak" [HR Muslim]. Kalau kita melakukan bid'ah dan resikonya adalah amalan kita tertolak (tidak diberi pahala oleh Allah SWT/tidak dianggap oleh Allah SWT), itu adalah masih mending, karena dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda: Fa inna khoirol hadiits kitabulloh. Wa khoirol hadyi hadyu Muhammad SAW. Wa syarrul umuuri muhdatsaatuhaa, Fa inna kulla muhdatsatin bid'ah. wa kulla bid'atin dlolalah. Wa kulla Dlolalatin finnaar. Yang artinya kurang lebih: "Sebaik-baik perkataaan adalah kitabulloh (AL Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rosululloh SAW. Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru (dalam agama). Maka semua perkara yang baru (dalam urusan agama) adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan semua kesesatan tempatnya di neraka" [HR Muslim]. Jadi perkara bid'ah bukan perkara yang sepele, bukan hanya masalah diterima/tidaknya suatu amalan, tetapi juga berhubungan dengan persaksian kita bahawa Muhammad SAW adalah Rasulullah…

InsyaAllah, nanti akan ada saatnya membahas tentang bid’ah, terutama masalah bid’ah hasanah. Yang terpenting pada pembahasan kali ini adalah tentang puasa asyura. Jika ada yang mengatakan adanya puasa tanggal 1 Muharam, sholat sunnah pada malam 1 Muharam atau dzikir-dzikir/amalan-amalan/ibadah-ibadah tertentu yang dikhususkan pada bulan Muharam (ataupun bulan lainnya) harus bisa membawakan / punya dalil yang shohih sebagai hujjah. Karena hukum asal ibadah adalah haram, sampai datangnya dalil dari Al Qur’an / As Sunnah (Hadits). Karena sebaik apapun amal ibadah kita jika hanya didasarkan persangkaan baik menurut akal kita, tanpa ada dasar dari syariat, maka amalan itu termasuk bid’ah dan tertolak.. Karena semua kebaikan (dalam urusan agama/ibadah) sudah disampaikan oleh Rasulullah SAW, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar ra; Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah Allah SWT mengutus seorang nabi kepada suatu umat sebelumku, melainkan dia wajib menunjuki umatnya kepada kebaikan yang dia ketahui dan memperingatkan mereka dari keburukan yang dia ketahui” [HR Muslim].

Dalam riwayat yang lain dari Abu Dzar Al Ghifari ra, ia berkata: Rasulullah SAW meninggalkan kami dan tidak ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Ia berkata, lalu Rasulullah SAW Bersabda: “Tidak tersisa sesuatupun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepadamu” [HR Thabrani, di shohihkan imam Syafi’i dan As Suyuthi rhm]

Tuesday, January 16, 2007

Di mana ALLAH...???

Penulis: Abu Ibrohim Hakim

sumber: http://muslim.or.id/2007/01/01/dimanakah-alloh/

Pada masa sekarang ini, di mana banyak diantara kaum muslimin yang sudah sangat menyepelekan masalah aqidah shahihah yang merupakan masalah paling pokok dalam agama ini, maka akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur dari pertanyaan “Dimana Alloh?”. Yang pertama mereka yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam diri setiap kita? Dan kedua yaitu yang mengatakan Alloh ada di mana-mana atau di segala tempat?

Seorang Budak Pun Tahu Dimana Alloh

Ketahuilah wahai Saudaraku, pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya. “Beliau bertanya kepada budak perempuan itu, ‘Dimanakah Alloh?’ Jawab budak perempuan, ‘Di atas langit’ Beliau bertanya lagi, Siapakah aku? Jawab budak perempuan, ‘Engkau adalah Rosululloh’, Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)

Maka perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing sekalipun, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat sedikit, seperti penggembala kambing ini. Kemudian bandingkanlah dengan realita kaum muslimin sekarang ini, niscaya akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh.

Keyakinan di mana Alloh termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-’Uluw (sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Dia di atas seluruh mahluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa’ (bersemayam)-Nya di atas Al-’Arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya sebagaimana yang diyakini oleh kaum Wihdatul Wujud, yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan sekarang. Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.

Dalil-Dalil Al Qur’an

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, sanadnya Shahih). Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya. Para ulama Ahlus Sunnah pun sepakat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana cara/kaifiyat istiwa’-Nya. Dan perlu diketahui bahwa penetapan sifat ini sama dengan penetapan seluruh sifat Alloh yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Alloh sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.

Dalil-Dalil As Sunnah

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak, di antaranya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani). Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Alloh, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Alloh di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Alloh?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-’Uluw)

Akan tetapi realita kaum muslimin sekarang amat sangat memprihatinkan. Pertanyaan ini justeru telah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh sebagian jama’ah-jama’ah dakwah di zaman ini? Ataukah justru pertanyaan ini telah menjadi bahan olok-olokan semata? Ataukah kaum muslimin sekarang ini telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh, meskipun mereka menyia-nyiakan hak Alloh? Maka kapankah Alloh akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan kita dari orang-orang kafir yang menghinakan dan merendahkan kita sebagaimana telah dibebaskannya seorang wanita dari hinanya perbudakan setelah ia mengenal dimana Alloh?

Konsekuensi Jawaban Yang Keliru

Alangkah batilnya orang yang yang mengatakan bahwasanya Alloh berada di setiap tempat atau Alloh berada di mana-mana karena konsekuensinya menetapkan keberadaan Alloh di jalan-jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat kotor (seperti toilet/wc, kandang babi dan tempat-tempat najis lainnya) dan berada di bawah makhluk-Nya. Kita katakan kepada mereka, “Maha Suci Alloh dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (Al-Mu’minun: 91). Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam setiap diri kita (??) karena konsekuensinya Alloh itu banyak, sebanyak bilangan makhluk? Maka aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidahnya kaum Nashrani yang mengakui adanya tiga tuhan (trinitas). Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Alloh tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena hal ini berarti Alloh itu tidak ada (??) maka selama ini siapa Tuhan yang mereka sembah? Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Alloh di atas ‘Arsy atau di bumi” mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa ia istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “Kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Alloh. Pantaslah jika Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, tentunya setelah ditegakkan hujjah atas mereka.

Dalil Fitrah

Sebenarnya tanpa adanya dalil naqli tentang keberadaan Alloh di atas, fitrah kita sudah menunjukkan hal tersebut. Lihatlah jika manusia berdo’a khususnya apabila sedang tertimpa musibah, mereka menengadahkan wajah dan tangan ke langit sementara gerakan mata mereka ke atas mengikuti isyarat hatinya yang juga mengarah ke atas. Maka siapakah yang mengingkari fitrah ini kecuali mereka yang telah rusak fitrahnya? Bahkan seorang artis pun ketika ditanya tentang kapan dia mau menikah maka dia menjawab, “Kita serahkan pada Yang di atas!” Maka mengapa kita tidak menjawab pertanyaan “Dimana Alloh?” dengan fitrah kita? Dengan memperhatikan kenyataan ini, lalu mengapa kita lebih sibuk menyatukan suara kaum muslimin di kotak-kotak pemilihan umum sementara hati-hati mereka tidak disatukan di atas aqidah yang shahih? Bukankah persatuan jasmani tidak akan terwujud bilamana ikatan hati bercerai-berai? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14). Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan.


Wednesday, January 10, 2007

Tuk Siapa Cinta Kita...???

Hanya ada satu cinta yang tidak boleh berkurang/pupus/meredup, juga tidak boleh kita putus, yaitu cinta kita kepada Allah SWT di atas segalanya. Jangan sampai kita mencintai sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah SWT. Karena sesungguhnya jika kita sudah mencintai Allah SWT dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah SWT pun akan mencintai kita. Jika Allah SWT sudah mencintai kita, maka kita akan senantiasa bahagia dan mendapat ridloNYA, segala kebaikan akan terlimpahkan kepada kita, sekalipun tampak seperti bencana/musibah. Karena tiada suatu musibah/bencana yang menimpa seorang muslim melainkan akan menghapuskan dosanya dan menambah pahalanya, tentu saja jika orang tersebut sabar dan ikhlas dari awal sampai akhir dalam menerima musibah tersebut (ada haditsnya lho...). Sehingga tiada sesuatupun di muka bumi ini yang dapat menyengsarakan kita, tiada yang dapat menyempitkan dada kita. Cinta kepada Allah akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sungguh amat besar kecemburuan dan kemurkaan Allah SWT terhadap orang yang menduakan cinta kepadaNYA, yaitu mencintai sesuatu melebihi cintanya kepada Allah SWT, terlebih lagi dalam hal ibadah...

Kita mengaku mencintai Allah diatas segalanya, tetapi kita malas menggerjakan sholat wajib tepat waktu. Jika suara adzan berkumandang kita masih menonton TV dan mengakhirkan sholat, ini berarti cinta kita kepada Allah kalah dengan acara TV...

Kita mengaku mencintai Allah diatas segalanya, tetapi kita enggan/menunda menggerjakan perintah Allah, padahal jika disuruh sang kekasih/atasan/yang lainnya untuk mengerjakan sesuatu pastilah kita kerjakan seketika itu juga. Ini berarti cinta kita kepada Allah kalah dengan cinta kita kepada makhluk...

Kita mengaku mencintai Allah diatas segalanya, tetapi kita enggan/malas untuk mengerjakan sesuatu yang bisa mendatangkan cinta Allah kepada kita, yaitu perkara-perkara yang bersifat sunnah.

Kita mengaku mencintai Allah diatas segalanya, tetapi kita senang dan sering melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan kebencian Allah kepada kita, yaitu perkara-perkara yang bersifat makruh.

Kita mengaku mencintai Allah diatas segalanya, tetapi kita sering melakukan perbuatan maksiat dan dosa, padahal perbuatan itu bisa menjauhkan cinta-NYA dari kita..

Padahal menduakan Allah dalam hal ibadah termasuk menyekutukan Allah (syirik), namun tentunya tingkatan syiriknya berbeda-beda, tergantung perbuatan yang dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan, seringan-ringannya syirik adalah dosa besar yang paling besar, lebih besar dosanya daripada orang yang zina, lebih besar dosanya daripada membunuh, lebih besar dosanya daripada merampas harta/kehormatan/jiwa seorang muslim. Karena syirik adalah merampas hak Allah, dzat yang maha agung dan maha segalanya... Terkadang, bahkan seringkali kita merasa gerah jika ada hak manusia yang dirampas oleh orang lain. Kadang kita marah ketika ada orang yang memperkosa ibunya/tetangganya. Sering ada protes jika hak-hak manusia dilanggar, namun kita sering pula berpangku tangan/berdiam diri ketika hak Allah SWT dirampas... Na'udzu billahi min dzalika...

Ya Allah, Tuhan yang maha pengampun

Ampunilah hambamu yang lalai ini...

Ya Allah, Tuhan yang maha pemberi petunjuk

Tunjukilah kami jalan yang lurus

Jalan yang Engkau ridloi

Aamiin...

==>> Dari hamba yang lalai dan penuh dosa, namun selalu mengharap cintaNYA
[DesYanto DR--Yanto Abdurrahman] <<==

Friday, January 5, 2007

ADAB PADA HARI JUM’AT

ADAB PADA HARI JUM’AT SESUAI SUNNAH NABI SAW


Hari Jum’at adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Hari Jum’at merupakan hari raya bagi uma islam yang ada setiap minggu (selain ‘idul fitri dan ‘idul ad-ha). Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rosululloh SAW dan sahabatnya RA, bagaimana seharusnya menyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Alloh Ta’ala. Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam pada hari Jum’at :

1. Memperbanyak Sholawat Nabi

Rosululloh SAW bersabda yang artinya, ”Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jum’at, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata :” Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah? Nabi bersabda:”Sesungguhnya Alloh mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)

2. Mandi Jumat

Mandi pada hari jum’at wajib hukumnya bagi setiap muslim yang baligh berdasarkan hadist Abu Sa’id Al Khudri, dimana Rosululloh bersabda yang artinya, ”Mandi pada hari Jum’at adalah wajib bagi setiap orang yang baligh” (Shohih. HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jum’at ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jum’at. Adapun tatacara mandi Jum’at ini seperti halnya mandi janabat biasa. Rosululloh bersabda yang artinya, “Barangsiapa mandi jum’at seperti mandi janabat…” (Shohih. HR Bukhori dan Muslim).

3. Menggunakan minyak wangi

Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda yang artinya, ”Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat kemasjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lau sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khutbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya”. (Shohih. HR Bukhori dan Muslim).

4. Bersegera untuk berangkat ke masjid

Anas bin Malik berkata, ”Kami berpagi-pagi menuju sholat jum’at dan tidur siang setelah sholat jum’at.” (Shohih. HR. Bukhori). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, ”Makna hadist ini yaitu para shahabat memulai sholat Jum’at pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat dhuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat”Fathul Bari” II/388)

5. Sholat sunnah ketika menunggu imam atau khotib

Abu Huroiroh rodhiyallohu ’anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ” Barangsiapa mandi kemudian datang untuk sholat jum’at, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khutbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari”. (Shohih. HR Muslim)

6. Tidak duduk dengan memeluk lutut ketika khotib berkhutbah

Sahl bin Mu’ad bin Anas mengatakan bahwa Rosululloh melarang Al Habwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat jum’at ketika imam sedang berkhutbah.” (Hasan. HR Abu Dawud, Turmidzi).

7. Sholat sunnah setelah sholat Jum’at

Rosululloh bersabda yang artinya, ”Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah empat rekaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, ”Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rekaat dimasjid dan dua rekaat apabila engkau pulang.” (Shohih. HR Muslim, Turmudzi).

8. Membaca Surat Al kahfi

Nabi bersabda yang artinya, ”Barangsiapa yang membaca surat Al kahfi pada hari jum’at maka Alloh akan meneranginya diantara dua jum’at”. (HR Imam Hakim dalam Mustadrok, dan beliau menshahihkannya)

Demikianlah sekelumit etika yang seharusnya diperhatikan bagi setiap muslim yang hendak menghidupkan ajaran Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam ketika di hari Jum’at. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa di atas sunnah Nabi-Nya dan selalu istiqomah diatas jalan-Nya.

[Di sarikan dari majalah Al Furqon edisi 8 tahun II oleh Abu Abdirrohman Bambang Wahono]