Tuesday, July 24, 2012

Hukum Makan Ketika Adzan Shubuh



Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.”[1]
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.[2]
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.” Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh. Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”[3]
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”[4]
Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama  untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian yakin waktu shubuh telah masuk.”
ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih ragu-ragu.”
وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”[5]
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,
هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن
“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”[6]
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”[7]
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.”[8]
Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.
Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Panggang-Gunung Kidul, 20 Ramadhan 1431 H (30/08/2010)

Artikel Muslim.Or.Id

Monday, August 23, 2010

Wednesday, May 21, 2008

Bahaya Syahwat & Syubhat

MEWASPADAI BAHAYA SYAHWAT DAN SYUBHAT

Sungguh umat ini akan ditimpa dengan berbagai macam fitnah. Dan fitnah yang akan menimpa umat ini ada dua, yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Rosululloh shollallohualaihiwasallam telah mengkhawatirkan fitnah kesesatan syahwat dan syubhat terhadap umatnya, sebagaimana yang telah disabdakan beliau yang artinyaSesungguhnya diantara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti hawa nafsu pada perut kamu dan kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan (Shohih, HR Ahmad)

Sebab Munculnya Syubhat dan Syahwat

Kalau dirunut kebodohan merupakan sumber segala kerusakan yang ada. Banyak para pemuda Islam yang tertimpa penyakit yang satu ini yaitu kebodohan terhadap agama mereka. Salah satu dampak yang di timbulkan oleh kebodohan ini adalah munculnya penyakit syahwat dan syubhat pada pemuda Islam. Oleh karena itu dibutuhkan cara untuk menghadapi penyakit tersebut dan menghilangkannya dari dada-dada kaum muslimin.

Sebab munculnya syahwat adalah cinta terhadap dunia dan tidak tahu bahwasanya akhirat lebih mulia dari pada dunia ini. Sebagaimana yang digambarkan oleh Rosululloh shollallohualihi wasallam didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh rodiyallohuanhu, yang artinya "Dua perkara yang senantiasa membuat hati seorang tua awet muda, cinta dunia dan panjang angan-angan."

Nasehat syaikh Muhammad bin Sholih Al- 'Utsaimin rohimahulloh

Orang yang tidak tidak mengenal kemuliaan akhirat dan malas beribadah akan menganggap dunia sebagai negeri yang senantiasa ia tempati. Ia selalu merasa kurang terhadap apa yang dimilikinya, tanpa pernah merasa cukup mengejar dunia hingga segala keinginannya terpenuhi. Padahal semua itu tidak akan memberi kepuasan bagi mereka, bahkan mampu membawa kesengsaraan. Seharusnya dia menyadari bahwa sebentar lagi kematian akan menghampirinya. Adapun orang yang mendapat taufik, dia menyadari bahwa dunia dan segala keindahannya itu hanyalah tipuan belaka, sehingga dia tidak terperdaya bahkan sebaliknya akan bergegas menuju ampunan Alloh serta surga yang seluas langit dan bumi, yang dipersiapkan bagi orang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya. (Majaalis Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Sholih al 'Utsaimin) Fitnah syahwat yang terbesar

Rosululloh shollallohualaihiwasallam telah memperingatkan bahaya fitnah wanita ini kepada umatnya dan ini merupakan bukti bahwasanya Rosululloh shollallohualaihiwasallam telah menyampaikan risalah dari Alloh subhanahuwata’ala yaitu dengan menjelaskan segala sesuatu yang bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi umatnya, sehingga tidak ada satu kebaikanpun yang tidak disampaikan oleh Rosululloh shollallohualaihiwasallam kepada umatnya dan tidak ada satu kejelekanpun yang akan menimpa umat ini kecuali telah diperingatkan oleh beliau agar kita menjauhinya. Salah satu fitnah syahwat yang membahayakan adalah fitnah wanita yang merupakan fitnah pertama dan terbesar bagi kaum muslimin khususnya bagi para pemuda islam. Rosululloh shollallohualaihiwasallam memperingatkan dari bahaya fitnah wanita, sebagaimana sabda beliau yang artinya Tidakkah aku meninggalkan fitnah, setelah aku(wafat), yang lebih berbahaya terhadap laki-laki daripada wanita” (HR Bukhori dan Muslim)

Dampak mengikuti seruan syahwat

Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin rohimahulloh memberikan penjelasan untuk kita semua tentang akibat mengikuti seruan syahwat. Beliau berkata bahwa terus menerus melakukan maksiat akan mengakibatkan kerasnya hati, jauh dari Alloh subhanahuwata'ala, dan lemahnya iman. Sebab, iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Terus menerus melakukan maksiat juga akan mengakibatkan maksiat tersebut menjadi suatu kebiasaan sekaligus tempat bergantung bagi pelakunya. Sungguh, jika jiwa itu terbiasa dengan suatu hal maka ia akan sulit untuk berpisah dengannya. Jika ini telah terjadi, pelaku maksiat akan sulit melepaskan diri dari maksiatnya, dan syaithan akan membukakan untuknya pintu-pintu kemaksiatan lainnya yang lebih besar dan lebih dahsyat dari sebelumnya. Oleh sebab itu, ahli ilmu dan ahli akhlak berkata: "Sesungguhnya kemaksiatan adalah pengantar kekafiran, di mana seseorang akan berpindah-pindah dari satu maksiat kepada maksiat lainnya, setahap demi setahap sampai ia berpaling dari agamanya." Semoga Alloh subhanahu wa ta'ala memberikan taufik dan keselamatan kepada kita semua. (Majaalis syahri Ramadhan)

Penyebar syubhat pada kaum muslimin

Kaum munafiqin merupakan penyebar syubhat terbesar bagi kaum muslimin. Kaum muslimin terus menerus merasakan kepedihan dan musibah akibat dari perbuatan mereka. Kaum munafiqin terus menerus melemparkan syubhat-syubhat ke tubuh kaum muslimin sedikit demi sedikit sehingga tidaklah heran jika pada masa sekarang banyak pemikiran-pemikiran yang menyesatkan dan menggelincirkan kaum muslimin. Mereka berpaling dari al Qur’an dan as Sunnah dan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan keduanya. Alloh subhanahuwata'ala berfirman, yang artinya Alloh akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.”(al Baqoroh: 15).

Diantara ciri kaum munafiq ialah tidak mau beriman sebagaimana keimanan para sahabat dan mencela salafush sholeh bahkan mereka mengatakanAkankah kami beriman sebagaimana keimanan orang-orang yang bodoh itu?’. Orang-orang munafiq ini menuduh para sahabat sebagai orang-orang yang bodoh. Namun Alloh Ta’ala membuka kedok mereka bahwa sebenarnya merekalah orang-orang yang bodoh, Alloh berfirman, Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh, akan tetapi mereka tidak mengetahui(Al Baqoroh : ). Mereka mencela cara para sahabat dalam beragama, mereka menganggap para sahabat itu tidak berilmu padahal mereka itulah yang tidak berilmu.

Cara menghadapi fitnah syahwat dan syubhat

Fitnah syubhat dapat dihadapi dengan ilmu. Sebagaimana perkataan Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh :Seseorang yang kokoh dalam ilmu jika datang syubhat-syubhat kepadanya sebanyak ombak lautan tidak akan menggoyahkan keyakinannya, dan sama sekali tidak menimbulkan keraguan sedikitpun pada hatinya. Karena jika seseorang telah kokoh dalam ilmu maka tidak akan digoyahkan oleh syubhat, bahkan jika datang syubhat kapadanya akan ditolak oleh penjaga ilmu dan pasukannya sehingga syubhat tersebut akan kalah dan terbelenggu”. (Miftah Daris Sa’adah).

Sedangkan fitnah syahwat dapat diredam dengan takwa, oleh karena itu Alloh subhanahuwata'ala berfirman yang artinya Sesungguhnya yang takut kepada Alloh adalah ulama’.”. para ulamadengan bekal ilmu yang mereka warisi dari para Nabi dapat mencapai tingkat takwa yang paling tinggi yaitu khosyatulloh (takut kepada Alloh). Oleh karena itu, kita meminta kepada Alloh subhanahuwata'ala agar diberikan ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholih, agar diberikan rasa takut yang rasa takut tersebut dapat menghalangi kita dari berbuat maksiat kepadanya. [Didik Abul Abbas]

Saturday, September 1, 2007

Fitroh jasmani manusia


Fitroh-Fitroh Manusia Dalam Kesucian Jasmani

Sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk menjalankan seluruh aspek kehidupannya sesuai dengan tuntunan kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya. Alloh berfirman, “Dan apa yang telah dibawa oleh Rosul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkan-lah.” (Al-Hasyr: 7). Di antara tuntunan itu adalah tuntunan dalam memelihara kesucian jasmani. Maka dari itu, seorang muslim semestinya melaksanakan tuntunan fitroh yang telah digariskan Alloh melalui lisan Rosul-Nya yaitu :“Lima hal termasuk bagian fitroh, yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), memotong kuku, mencabuti rambut ketiak dan memotong kumis.” (HR. Bukhori dan Muslim). Sabdanya pula, “Sepuluh hal termasuk fitroh: Memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq(menghirup air ke hidung), memotong kuku, mencuci sela lipatan jari, mencabuti rambut ketiak, mencukur rambut di sekitar kemaluan, dan istinja”, perowi berkata: “Saya lupa yang kesepuluh, mungkin kumur-kumur”. (HR. Muslim). Berikut ini beberapa point yang sering dianggap sepele oleh kaum muslimin,

Memotong kumis (jangan sampai menutup bibir)
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dan potonglah kumis-kumis.” (HR. Bukhari, Muslim). Sabdanya pula, “Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya, maka dia bukan termasuk dari (golongan) kami.” (shohih, HR. Tirmidzi). Ibnu Hazm rohimahulloh berkata, “Ada ijma’ yang menetapkan bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot (panjang) adalah fardhu.” (Tahrim Halq Al Liha)

Memelihara jenggot dan tidak memotongnya
Jenggot adalah rambut yang tumbuh di kedua pipi dan dagu. Jenggot merupakan perhiasan laki-laki yang merupakan lambang kesempurnaan dan membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dikatakan demikian sebab perempuan tidak berjenggot. Memeliharanya wajib dan mencukurnya harom, sebab hal ini merubah ciptaan Alloh. Dan perbuatan merubah ciptaan Alloh adalah wangsit dari syaithon, "Akan aku suruh mereka (untuk merubah ciptaan Alloh) lalu mereka merubahnya" (An Nisaa': 119). Perbuatan ini juga merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) perbuatan orang kafir. Rosululloh bersabda, “Selisihilah orang-orang musyrik, perliharalah jenggot dan potonglah kumis" (HR. Bukhori Muslim). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Diharamkan mencukur jenggot berdasarkan hadits-hadits yang shohih dan tidak ada seorang ulama pun yang membolehkannya." (Al Ikhtiyarot Al 'Ilmiyyah). Jenggot inilah yang merupakan ciri khas para nabi, para sahabat, orang sholih dulu dan sekarang.
Namun sungguh sangat mencengangkan tatkala sebagian dari kaum muslimin mencela syariat yang mulia ini. Mereka menolak perintah ini dengan berbagai alasan yang lebih rapuh ketimbang sarang laba-laba bahkan menghina orang berjenggot dengan menggelari kambing, teroris, Amrozi dan berbagai julukan jelek lain. Allohu akbar! Ketahuilah, perbuatan mencela syariat adalah termasuk salah satu dari pembatal keislaman! Pantaskah seorang muslim bertindak demikian? Dimanakah nilai ketaatan mereka kepada Rosululloh?

Menggosok gigi / siwak
Mengosok gigi sangatlah dianjurkan, selain untuk kebersihan dan kesehatan, bersiwak juga mempunyai nilai ibadah yang sangat diridhai Alloh. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Siwak itu mensucikan mulut dan (mendatangkan) Keridhoan Ar-Robb.” (HR. Ahmad, An Nasai, Bukhori secara mu'allaq). Bersiwak disunnahkan pada beberapa waktu diantaranya setiap kali hendak wudhu, hendak sholat, membaca Al Qur'an, ketika bangun di malam hari dan beberapa waktu lain. Rosululloh bersabda, “Seandainya bukan karena khawatir memberatkan umatku, tentu kusuruh mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (HR. Bukhori, Muslim). Sabdanya pula, “Seandainya bukan karena khawatir memberatkan umat, tentu kuperintahkan mereka bersiwak (pada setiap wudhu).” (HR. Bukhori, Ahmad, An-Nasai). Hudzaifah rodhiyallohu 'anhu berkata: “Adalah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bilamana bangun malam beliau menggosok giginya dengan siwak.” (HR. Bukhari,Muslim). Bahkan dalam keadaan berpuasa beliau juga bersiwak. Amir bin Robi’ah berkata, “Tidak terhitung saya melihat Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersiwak dalam keadaan puasa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi berkata derajad hadits ini hasan). [Buletin At Tauhid / Abu Uzair Boris]

Monday, August 27, 2007

Virus di Tengah Masyarakat

VIRUS YANG MEWABAH DITENGAH UMMAT

Sungguh aneh bin ajaib kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa pada saat ini dakwah yang menyerukan kepada tauhid dan mengingatkan pada syirik adalah sudah tidak relevan. Sebab di zaman yang modern seperti ini sudah banyak orang yang mempercayai adanya Tuhan dan sangat jarang ditemui ada orang yang menyembah patung, bintang, matahari, berhala dan sebagainya. Mereka juga mengatakan bahwa sekarang ini kita harus memfokuskan dan memperhatikan bagaimana kita harus melawan orang-orang kafir dan merebut kekuasaan. Pandangan seperti ini muncul karena memang dangkalnya ilmu dan pemahaman yang ada pada orang tersebut, tidak faham apa itu pengertian tauhid dan syirik dengan benar, serta tidak faham dengan inti dakwah setiap rosul. Bukan berarti bahwa melawan orang kafir itu tidak penting. Tidak, sekali-kali tidak! Dengan tulisan ini semoga dapat mendudukkan masalah ini secara benar dan dapat menyadarkan kaum muslimin dari keterlenaannya.

Tauhid bukan sekedar percaya adanya Tuhan
Sebagian kaum muslimin yang beranggapan bahwa apabila seorang itu telah mengakui adanya Tuhan, maka dia sudah dikatakan bertauhid. Mereka lupa bahwa ini hanyalah bagian dari tauhid, bahkan hanya bagian kecil darinya. Dan belumlah seseorang itu dianggap bertauhid hanya dengan bagian yang ini saja. Sedangkan bagian tauhid yang lain bahkan yang paling pokok di antaranya justru tidak faham. Setiap orang wajib mengesakan Alloh dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa shifat-Nya. Jika ketinggalan satu saja dari ketiga tauhid tersebut belumlah dia dikatakan sebagai seorang yang bertauhid.
Lihatlah kaum musyrik quroisy, bukankah mereka juga mengakui adanya Alloh, bahkan bukankah mereka juga menyembah Alloh? Kenapa mereka masih diperangi oleh Rosululloh? Alloh berfirman: ”Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Alloh’. Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak betakwa (kepada-Nya)?”(Yunus: 31).

Syirik bukan sekedar sujud kepada patung
Siyrik adalah menyamakan selain Alloh dengan Alloh dalam perkara yang menjadi kekhususan atau hak bagi Alloh. Dari definisi ini, maka jelaslah bagi kita syirik itu tidak hanya sebatas menyembah dan sujud kepada berhala, patung, matahari dan lain-lain, namun lebih luas daripada ini.
Kita lihat juga kaum musyrik yang diperangi oleh Rosululloh dulu, apakah mereka murni benar-benar menyembah atau sujud kepada berhala dan yang lainnya hanya karena mereka batu dan pohon? Ternyata tidak, Alloh menceritakan ucapan mereka: “Tidaklah kami menyembah mereka melainkan agar mereka dapat mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya” (Az-Zumar: 3). Mereka menyembah berbagai sesembahan tersebut dengan harapan akan memerantarai pada Alloh.
Syirik juga tidak terhenti di sini, ada juga syirik dalam ketaatan. Tatkala Rosululloh membacakan ayat: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tandingan (tuhan) selain Alloh” (At-Taubah : 31). Sahabat Adi bin Abi Hatim yang pada waktu itu baru masuk Islam menyanggah: “Tidaklah kami itu menyembah mereka”. Maka Rosululloh menjawab: “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Alloh lalu kalian pun ikut mengharamkan, dan bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan oleh Alloh lalu kalian pun ikut menghalalkan?” Maka Adi bin Abi Hatim pun menjawab: “Benar”. Rosululloh berkata: ”Itulah peribadahan kepada mereka”. Lalu sekarang, betapa banyak kaum muslimin yang mereka ikut menghalalkan yang semestinya harom dengan landasan hawa nafsu? Na’udzu billah.
Syirik tidak hanya terbatas pada amalan badan, namun juga amalan hati dan lisan. Alloh berfirman: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh” (Al Baqoroh : 165).

Realita yang ada dimasyarakat sekarang ini
Sungguh aneh masyarakat kita sekarang ini, mereka akan begitu sangat marah apabila ada orang non islam yang mempropagandakan agama mereka dan mengajak orang lain kepada agama mereka. Namun pada saat yang sama, dia telah membiarkan dirinya, anak-anaknya dan keluarganya untuk diseret dan dipengaruhi oleh kesyirikan dan dijauhkan dari aqidah yang lurus, yakni dengan membiarkan di rumahnya sebuah televisi yang tiap harinya selalu dijejali dengan acara-cara kesyirikan. Seolah-olah mereka mengatakan: “Mari silakan masuk, ajari dan pengaruhi keluarga kami dengan acara-acara syirik, bid’ah dan maksiat kalian”. Na’udzu billah!! Bukankah ini terjadi karena tidak fahamnya mereka terhadap apa itu syirik, ancaman dan bahayanya? Ataukah merasa juga telah merasa aman dan jauh akan terjatuh di dalamnya?
Anak-anak kita sudah terbiasa disuguhi dengan film tentang peri, hantu, dukun, sihir, jimat-jimat dan film misteri yang penuh kesyirikan. Sementara anak mudanya tenggelam dalam ramalan bintang/zodiak. Sadarlah wahai saudaraku! itu semua adalah termasuk amalan-amalan kesyirikan.
Dengan dalih Budaya dan Adat Istiadat
Lebih ironi lagi, ternyata kita juga hidup disuatu masyarakat yang diantara adat istiadat dan budaya mereka merupakan amalan-amalan kesyirikan. Ketika kita mengingatkan mereka ternyata mereka malah balik menuduh bahwa kita adalah orang yang kaku dan tidak faham terhadap esensi dan transformasi nilai. Namun sayang ketika mereka berusaha untuk dijelaskan dan diajak untuk “sedikit” berpikir, hati mereka sudah diliputi oleh dua penyakit yaitu taqlid (ikut-ikutan) dan ta’ashshub (fanatik). Kalau begitu, bagaimana kebenaran ini akan sampai?
Alloh berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Al-Baqoroh : 170).
Kita lihat di sana ada acara nyadran, sekaten, ngelarung, sedekah bumi/laut, suronan dan lain-lain, yang mana acara-acara itu di masyarakat kita sudah mendarah daging, bahkan sudah menjadi komoditi bisnis dan mata pencaharian. Sungguh ironi, mereka beralasan bahwa ini adalah budaya nenek moyang yang harus dilestarikan. Allohu akbar !! Inilah alasan yang menjadi jurus pamungkas kaum musyrikin jaman Rosululloh tatkala mulut mereka tidak mampu lagi menjawab hujjah Alloh, Na’udzu billah.
Mengingat akan parahnya keadaan ini, maka sudah menjadi tugas kita semua untuk saling mengingatkan dan terus untuk mengingatkan. “Dan tetaplah beri peringatan, karena peringatan itu memberikan manfaat terhadap orang-orang yang beriman” (Adz-Dzariyat : 55 ). [Buletin At Tauhid / Yusuf Abu Hudzaifah]